DATANGI: Poltak Silitonga, SH,MH bersama kliennya Henri Siregar mendatangi Bid Propam Polda Sumut, Rabu (10/12)2025). (Foto: Dok/PH)
Reportasesatu.id-Medan||
Dua oknum anggota Polri, AKP PS dan Bripka HF, dinyatakan bersalah dalam sidang kode etik terkait dugaan ketidakprofesionalan mereka dalam menangani laporan pengrusakan yang dibuat oleh Hendri Siregar pada 9 September 2024 lalu.
Kasus yang terjadi di Desa Teladan, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, dan diduga dilakukan oleh Ray Silitonga, justru dihentikan penyidikannya oleh kedua oknum penyidik tersebut.
Penghentian ini dilakukan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebuah dokumen resmi yang dikeluarkan penyidik untuk menyatakan bahwa proses penyidikan dihentikan dan tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan.
SP3 hanya boleh diterbitkan apabila ada alasan kuat sesuai KUHAP: kurangnya bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia.
Namun dalam kasus ini, penerbitan SP3 dinilai janggal dan tidak memiliki alasan hukum yang memadai.
Fakta bahwa kedua penyidik mengaku bersalah dalam sidang kode etik semakin memperkuat dugaan bahwa penghentian penyidikan dilakukan secara tidak profesional dan berpotensi melanggar prosedur formal penyidikan.
Pada sidang kode etik, Selasa (9/12/ 2025) hadir Penasihat Hukum Korban, Poltak Silitonga SH, MH, yang menegaskan bahwa tindakan kedua penyidik telah merugikan korban dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
“SP3 itu bukan main-main. Jika dihentikan tanpa dasar yang sah, itu berarti penyidik telah menyalahgunakan kewenangannya. Kasus ini harus dibuka terang, jangan berhenti pada etik,” tegas Poltak.
Peristiwa ini kembali menyoroti persoalan serius dalam tubuh Polri: lemahnya integritas penyidikan, minimnya pengawasan, dan masih adanya celah penyalahgunaan kewenangan.
Publik pun menuntut agar penyelesaian tidak berhenti pada sanksi etik, tetapi dilanjutkan ke proses pidana bila terbukti ada pelanggaran hukum.
Jika Polri ingin memulihkan kepercayaan masyarakat, maka setiap penyimpangan harus diusut secara transparan dan tuntas, bukan sekadar menjadi catatan pelanggaran internal. (Alf)


