FOTO BERSAMA: Narasumber foto bersama dari kanan ke kiri, Dr. Janpatar Simamora, SH., MH, Juniaty Aritonang, M.Sos dan AKBP Antero Purba usai menggelar kegiatan di Kenanga Garden Jalan Jamin Ginting Medan, Senin (22/12/2025).(Foto:Dok/A1)
Reportasesatu.id-Medan||
Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Perhimpunan Bakumsu) menggelar catatan akhir tahun 2025 dengan tema Negara Abai, Krisis Diproduksi, Manusia Menanggung Luka yang dilangsungkan di Kenanga Garden, Jalan Jamin Ginting Medan, Senin (22/12/2025).
Hadir dalam kegiatan tersebut sebagai narasumber, Dr. Janpatar Simamora, SH., MH, yang merupakan Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas HKBP Nommensen untuk periode 2022-2026, Kasubbid Bankum Bidkum Polda Sumut, AKBP Antero Purba, S.H., M.H dan Sekretaris Bakumsu: Juniaty Aritonang, M.Sos.
Dalam sambutannya, Juniaty Aritonang menyampaikan temuan dan pencapaian Perhimpunan Bakumsu sepanjang tahun 2025 dalam rangka pendampingan terhadap masyakat ada beberapa hal yang disimpulkan negara abai dengan diproduksinya krisis sehingga masyarakat menanggung luka.
"Sepanjang tahun 2025, terkait HAM sangat mengkuatirkan yang menegaskan negara gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya menghormati, melindungi dan memenuhi HAM bagi masyarakat hanya berorientasi pada investasi," ujarnya seraya menyebut ada 90 kasus pelanggaran HAM baik bentuk intimidasi, pembunuhan hingga kejahatan digital.
Ia juga menyoroti tren peningkatan konflik agraria di Sumatera Utara.
"Hal yang kedua dari catatan kami terjadinya peningkatan konflik agraria. Dari pengamatan kami pelakunya masih pelaku tahun sebelumnya, coorporate masih itu-itu juga. Sebagai contoh PT TPL dengan masyarakat di Natinggir Kabupaten Toba dan Dolok Parmonangan Sihaporas," ucapnya sembari mengatakan konflik tersebut sebabkan kriminalisasi terhadap warga yang berusaha menguasai ruang hidupnya.
Hal yang ketiga, lanjut Juniaty terjadinya bencana ekologis yang berulang.
"Setiap tahun terjadi bencana ekologis di beberapa wilayah Sumut. Bencana tersebut secara masih terjadi akibat tidak tegasnya tindakan pemerintah," sebutnya.
Juniaty juga menyoroti beberapa kasus besar yang berhasil saat pendampingan masyarakat pencari keadilan.
"Beberapa kasus yang besar dan menyita tenaga, pikiran dan dana yang terbatas, Kasus Sorbatua Siallagan, Kasus pencabutan PT DPM, kasus PT TPL, PT Gruti dan Kasus Sihaporas ," urainya sambil berharap apa yang telah dilakukan Perhimpunan Bakumsu bisa tetap memberi keadilan bagi masyarakat.
Sementara AKBP Antero Purba yang menyoroti pelanggaran HAM yang ditujukan kepada institusi Polri.
"Dari segi pelanggaran HAM, institusi Kepolisian paling disalahkan. Itu sah-sah saja. Namun saya tekankan personel hanya melakukan SOP dan dalam aturan Polri tidak ada ada yang mengatur untuk melakukan pelanggaran HAM," tegasnya.
Ditambahkannya, untuk persoalan yang terjadi saat ini perlu didudukkan semua institusi yang berkepentingan sehingga Polri tidak menjadi korban pelanggar HAM.
"Baiknya didudukkan semua yang berkepentingan, baik Kementerian LH, BPN, Kehutanan dan yang lainnya. Sehingga tidak terjadi mereka berbuat salah kita yang bertikai," tambahnya sembari meminta untuk kedepannya dalam diskusi agar dihadirkan para pembuat kebijakan tersebut.
Senada dengan itu,bDr. Janpatar Simamora menyoroti masalah agraria yang dibenturkannya kebiasaan dengan hukum formal.
"Penyebab terjadinya konflik akibat dibenturkannya kebiasaan yang ada di masyarakat adat dengan coorporate yang berlandaskan hukum tertulis. Bagaimanakah bisa dipertemukan hukum yang tidak tertulis dan tertulis," ucapnya.
Ia berharap agar negara membuat UU yang mengakui masyarakat adat sehingga tidak terjadi masalah ke depannya.
"Negara harus membuat UU yang mengatur masyarakat adat ini. Sehingga legalitasnya jelas. Pembentukan ini juga bisa berdasar aspirasi masyarakat. Ada 5 daerah yang sudah memiliki Perda mengatur masyarakat adat ini yaitu Samosir, Toba, Humbang, Tobasa. dan Langkat," tutupnya seraya meminta Sumut membuat Perda tersebut seperti halnya di Sumbar. (A1)


